Waktu berjalan tanpa banyak kata. Setelah pesan Nafisah disampaikan, suasana di rumah Khadijah berubah menjadi tenang tapi sarat harapan. Di antara hiruk pikuk pasar dan kabar dagang, dua nama mulai disebut bersama dalam bisikan orang-orang Quraisy. Keputusan pun mendekat seperti takdir yang sudah lama menunggu.
Muhammad dan Khadijah akhirnya memutuskan menikah. Di rumah Khadijah, para kerabat berkumpul dalam suasana yang hangat dan bersahaja. Pamannya, ‘Amr ibn Asad, menjadi wali yang menikahkannya. Muhammad datang bersama pamannya, Abu Thalib, yang mewakilinya dalam khotbah pernikahan.
Abu Thalib berdiri dan memulai dengan pujian kepada Allah. Suaranya mantap ketika mengingatkan kemuliaan suku Quraisy sebagai penjaga Ka’bah dan penduduk terhormat Makkah. Setelah itu ia berkata,
“Keponakanku, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, tidak ada tandingannya di antara pemuda Quraisy dalam hal akhlak, kemuliaan, dan nasab. Jika ia kurang harta, ketahuilah bahwa harta hanyalah rezeki sementara seperti bayangan yang cepat berlalu. Ia ingin menikahi Khadijah, dan Khadijah pun menghendakinya.”
Kata-kata itu disambut dengan persetujuan yang tulus. Sebagai tanda resmi pernikahan, mahar diberikan sebar 12 uqiyyah perak, kira-kira 40 dirham. Paman Khadijah menutup acara itu dengan kalimat singkat,
“Pemuda seperti ini tak pantas ditolak.”
Pernikahan sederhana itu menjadi penanda penting dalam sejarah umat manusia. Dari rumah itulah kelak lahir risalah yang mengubah dunia.
(Erha Aprili Ramadhoni)