Dengan keduanya, seorang hamba akan mengalami kenaikan level hingga rasa cintanya kepada Allah yang memberikan kenikmatan akan memalingkannya dari nikmat-nikmat lainnya. Rasa syukur merupakan kedudukan mulia yang dapat mendatangkan kebahagiaan baik agama maupun dunia”.
Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah swt, Lebih lanjut, dalam hal ini terdapat 2 (dua) tanda seseorang muslim yang dicabut rasa syukur dari hatinya, yaitu: Pertama, mudah mengeluh dan sulit menerima takdir. Orang yang kehilangan rasa syukur akan selalu melihat kekurangan dalam hidupnya dan tidak pernah puas terhadap pemberian. Padahal dalam bersyukur, tidak perlu menunggu banyak harta untuk membiasakan bersedekah dan tidak perlu menunggu tua untuk bisa bermanfaat kepada sesama.
Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ، لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ، وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ، لَمْ يَشْكُرِ اللهَ
Artinya: “Barangsiapa yang tidak bersyukur akan yang sedikit, maka tidak akan bersyukur saat banyak dan barangsiapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah”. (HR. Ahmad bin Hanbal)
Kedua, tidak memanfaatkan nikmat yang ada untuk melakukan ketaatan. Syukur merupakan gabungan dari pengetahuan, sikap dan perbuatan seseorang yang dilandaskan pada nikmat yang telah Allah berikan. Ketika rasa syukur dicabut, maka dunia akan menjadi tujuan dan bukan lagi sarana untuk beribadah kepada Allah. Sebab pada hakikatnya, seorang hamba yang bersyukur ialah mereka yang menggunakan nikmat yang ada untuk bisa bermanfaat dan kepada orang lain.
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin jilid IV hal 81 menjelaskan:
اِعْلَمْ أَنَّ الشُّكْرَ مِنْ جُمْلَةِ مَقَامَاتِ السَّالِكِيْنَ وَهُوَ أَيْضًا يَنْتَظِمُ مِنْ عِلْمٍ وَحَالٍ وَعَمَلٍ فَالْعِلْمُ هُوَ الْأَصْلُ فَيُوْرِثُ الْحَالَ وَالْحَالُ يُوْرِثُ الْعَمَلَ فَأَمَّا الْعِلْمُ فَهُوَ مَعْرِفَةُ النِّعْمَةِ مِنَ الْمُنْعِمِ وَالْحَالُ هُوَ الْفَرَحُ الْحَاصِلُ بِإِنْعَامِهِ وَالْعَمَلُ هُوَ الْقِيَامُ بِمَا هُوَ مَقْصُودُ الْمُنْعِمِ وَمَحْبُوبُهُ
Artinya: “Ketahuilah bahwa syukur termasuk salah satu maqam (kedudukan spiritual) para salik (orang yang menempuh jalan menuju Allah). Ia terdiri dari pengetahuan, sikap, dan perbuatan. Pengetahuan melahirkan sikap dan sikap melahirkan perbuatan. Pengetahuan yaitu mengetahui bahwa semua nikmat berasal dari Allah, sikap yaitu rasa senang terhadap nikmat yang diberikan, sedangkan amal ialah dengan menggunakan nikmat yang ada untuk melaksanakan perintah-Nya”.