Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Napak Tilas Perjuangan Kiai Noer Ali, "Singa" Bekasi Paling Ditakuti Belanda

Saskia Rahma Nindita Putri , Jurnalis-Senin, 17 Agustus 2020 |07:10 WIB
Napak Tilas Perjuangan Kiai Noer Ali,
KH Noer Ali (Foto: Wordpress)
A
A
A

TAK banyak orang tahu, Bekasi, Jawa Barat ternyata menjadi salah satu wilayah sekaligus saksi bisu perjuangan anak bangsa merebut kemerdekaan dari penjajah. Wilayah yang terletak di pinggir timur Kota Jakarta itu juga menyimpan banyak kisah heroisme yang luput dari pengetahuan generasi muda saat ini.

Hanya sedikit yang mengenal nama-nama pejuang asal kota ini. Salah satunya ialah KH Noer Ali. Ya, kebanyakan orang hanya mengetahuinya sebagai nama jalan saja. Padahal, beliau adalah ulama pejuang kemerdekaan yang sejak 2006 silam resmi ditetapkan statusnya Pahlawan Nasional.

Kiai Noer Ali lahir di Bekasi, Jawa Barat pada 15 Juli 1914. Ia merupakan putra dari pasangan Anwar bin Haji Layu dan Maimunah binti Tarbin. Ia mendapat pendidikan agama dari sejumlah guru agama di sekitar Bekasi. Pada tahun 1934, ia menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama di Kota Makkah serta enam tahun bermukim di sana.

Perjuangan Kiai Noer Ali melawan serdadu penjajah terekam jelas melalui kisah heroik yang terjadi di tanah Bekasi, tepatnya di wilayah Pondok Ungu. Dikutip dari buku Biografi KH Noer Ali, Singa Karawang-Bekasi karya AM Fatwa, peristiwa bermula dari Pesawat Dakota Sekutu yang mendarat darurat di Cakung pada 23 November 1945.

Terhitung tentara Inggris berjumlah 25 orang kala itu akhirnya pulang tinggal nama dihabisi pejuang Bekasi. Sepekan berselang yakni pada 29 November, pasukan penjajah masuk ke Bekasi dari Jakarta dengan kekuatan Pasukan Punjab ke-1/16, Pasukan Perintis ke-13, Resimen Medan ke-37, Detasemen Medan ke-69, serta Kavaleri FAVO ke-11 dibersamai dengan 50 truk, beberapa Tank Stuart, dan lima artileri medan.

Baca juga: Apakah Bulan Sabit dan Bintang Simbol Islam?

Berangkat dari Jakarta, mereka menyusuri Beraksiweg (kini Jalan Raya Bekasi). Namun, sesampainya di Rawa Pasung (Kranji), mereka sempat lebih dulu dikejutkan serangan man-to-man kelompok pesilat asal Subang.

Kalah telak karena banyaknya serdadu mereka yang telah dilumpuhkan, Inggris memutuskan balik ke arah Jakarta. Namun, baru saja sampai di Pertigaan Pondok Ungu (kini Jalan Sultan Agung), mereka kembali disergap dengan penyerangan dari para pendekar Bekasi.

Tak disangka, skalanya lebih besar hingga sekutu pun kewalahan melawan serangan yang dipimpin oleh Kiai Noer Ali dan TKR Laut di bawah komando Kapten Madmuin Hasibuan. Sergapan besar dari arah Kampung Sasak Kapuk itu membuat sekutu mati kutu dan harus mengatur ulang pertahanan mereka.

Setelah mampu bangkit menyusun strategi pertahanannya, barulah Inggris melakukan serangan balik dengan membanjiri pasukan Kiai Noer Ali dengan peluru-peluru mortar dan meriam. Di sinilah banyak rakyat dan murid-murid dari Kiai Noer Ali berguguran.

Keberhasilan akan serangan balik dari Inggris ini yang akhirnya membuat mereka mampu bergerak mundur kembali ke Jakarta. Sejak tragedi itu, Kiai Noer Ali tak pernah lagi melibatkan pasukannya dalam pertempuran frontal dan memilih mengandalkan perang gerilya.

"Iya, sejak pertempuran Sasak Kapuk atau Pertempuran Pondok Ungu ini, Kiai Noer Ali belajar dari pengalaman. Enggak mau lagi bertempur secara frontal dan pilih metode perang gerilya," ungkap Sejarawan Bekasi, Beny Rusmawan kepada Okezone beberapa waktu lalu.

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement