Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ghibah. Sebagian menggolongkannya sebagai dosa besar, sementara sebagian yang lain menganggapnya dosa kecil. Pendapat yang benar adalah dengan merinci: jika ghibah itu ditujukan kepada orang-orang saleh dan bertakwa, maka tanpa ragu itu termasuk dosa besar. Adapun jika ditujukan kepada selain mereka, maka tidak serta-merta dihukumi dosa besar.
Namun, bila seorang mukmin yang fasik digunjing sampai pada batas berlebihan, dengan menyebut-nyebut keburukannya hanya untuk bahan hiburan, maka itu pun termasuk dosa besar.
Hal inilah yang dimaksud dalam hadis riwayat Abu Dawud dari Sa‘id bin Zaid, bahwa Nabi bersabda:
إِنَّ أَرْبَى الرِّبَا اسْتِطَالَةُ الرَّجُلِ فِي عِرْضِ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ
Artinya, “Sesungguhnya riba yang paling besar adalah seorang lelaki memperpanjang lisannya terhadap kehormatan saudaranya sesama muslim.”
Perbuatan semacam ini termasuk dosa besar yang sangat berat, karena Nabi menggambarkannya sebagai riba yang paling besar, yakni dosanya sebanding dengan bentuk riba yang paling berat.
Cukuplah sebagai peringatan tentang bahaya dan keburukan ghibah firman Allah Ta‘ala:
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
Artinya, “Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kalian merasa jijik kepadanya.” (QS. al-Hujurat)
Dalam ayat ini, Allah menggambarkan ghibah seperti memakan daging saudara sendiri yang telah mati. Sebagaimana akal yang sehat mengarahkan kita jijik memakan daging saudara yang telah mati, demikian pula agama yang lurus menuntut kita untuk membenci ghibah dan menjauhinya.